26/08/17

GOLO NDERU.

Ditulis oleh: Melky Pantur***, Sabtu (26/8/2017).

Golo Nderu, Desa Bangka Lao, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, Pulau Flores, Propinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia, Benua Asia.

Ritual tiba meka atau penerimaan tamu. Tampak Wakil Bupati Manggarai, Sabtu (26/8/2017) di Gǝndang Golo Nderu.

Mengenakan topi dan selendang.


Suku-suku di Golo Nderu.

Adapun suku-suku tersebut, di antaranya: Lao, Kepe, Manong, Repok, Copu, Dalo, Wangkung, dll.

Cǝki di Golo Nderu.

Lao ber-cǝki Kaba, Kepe ber-cǝki Rutung, Manong ber-ceki Teu Rembung. Sedangkan, suku-suku lainnya belum diketahui, belum ditanya Penulis.

Rutung (babi landak, porcupine). Rutung ini totemnya Suku Kepe di Golo Nderu.

Teu rembung (tebu merah, sugar cane).
Teu rembung ini totem dari Suku Manong di Golo Nderu.

Suku Awal.

Suku awal yang memasuki Golo Nderu adalah Lao keturunan dari Kondamari. Keturunan Kondamari (2017) bernama Alex Kembus sebagai Tu'a Golo kemudian suku Kepe dan suku-suku lainnya.

Silsilah Kondamari.

Kondamari memperanakkan Nancung, Nancung memperanakkan Namat, Namat memperanakkan Ngarim Reba, Ngarim Reba memperanakkan Maris Mangi kemudian generasi berikutnya - lagi dicari.

Cǝki Kaba.

Awalnya, acara wagal di wilayah Manggarai Timur. Pihak anak wina tidak membawa kerbau, sementara pihak anak rona terus mendesak maka timbullah rasa jengkel. Keluarga anak wina ata mbeko mese - paranormal, kemudian memanggil isteri dari pria yang hendak di-wagal tersebut, dia membawanya ke purang atau kubangan kerbau. Perempuan itupun berubah wujud menjadi seekor kerbau betina.

Kaba (kerbau, buffalo). Kaba ini totem orang Suku Lao di Golo Nderu.

Keturunan Suku Lao ber-cǝki kaba. Tampak Alex Kembus didampingi oleh Kades Compang La'o, Rian Keka dan jubir adat Robertus Gamput.

Anak rona yang terus mendesak lalu meminta kepada anak wina untuk menunjukkan kerbau yang mereka bawa. Pihak anak wina pun mengamini dan mempersilahkan mereka mengambil ikatannya di purang.

Kerbau ini pun di-ceang, disembelih. Setelah disembelih makanan yang keluar dari perut kerbau itu adalah makanan manusia, seperti daun ubi dan makanan lainnya. Mereka pun terheran dengan isi perut kerbau tersebut.

Setelah anak rona menyembelih kerbau itu, lalu mereka mencari anak perempuan mereka, isteri dari pria anak wina yang hendak di-wagal-kan.

Anak rona bertanya: 'Di mana anak perempuan kami?'. Apa jawaban anak wina? 'Dia sudah disembelih, kerbau yang kalian sembelih itulah dia!'. Semuanya merasa kesal terutama anak rona. Maka, sejak saat itulah, cǝki keturunan Kondamari adalah kaba atau kerbau.

Lingko Gǝndang Golo Nderu.

Alex Kembus mengatakan, lingko Gǝndang di sana terdiri dari Lingko Kenda, Lingko Mulu, Lingko Pelus, Lingko Golo Nderu I dan II. Sedangkan, Wae Barong Gendang Golo Nderu namanya Wae Kampas. Menurut Kembus, di sana terdapat temek (rawa-rawa) dan airnya cino atau jernih. Wae kampas hampir sama dengan wae cino.

Asal Mula Nama Nderu.

Menurut Kembus,

Aleks Kembus, Tua Golo Gǝndang Nderu.

Nderu (jeruk).

nama kampung Nderu berawal dari tetumbuhan jeruk di dekat compang atau radi di depan Gǝndang - radi sama dengan Gǝndang. Dulu, katanya, ada tiga pohon nderu yang tumbuh sendiri di depan Gǝndang sejak nenek moyang mereka yang pertama dan baru ditebang beberapa tahun silam. Belum diketahui persis, jeruk apa yang tumbuh di depan rumah tersebut.

Sejarah Suku Kǝpe Masuk Nderu.

Bene Baduk,
Bene Baduk bersama Isterinya Kristina Jelau.

mengatakan Suku Kǝpe di Manggarai memiliki banyak versi, baik versi La'o maupun versi Kotok dan Beo Kina.

Menurut Baduk, awal mula keturunan mereka berasal dari Todo dan kisah itu mulai terukir melalui bang motang - mencari babi hutan.

Kilasan Cerita Lalo Koe.

Pada zaman dahulu, ada kakak beradik tinggal di Todo. Nama mereka Wengke Wua dan Lalo Koe. Wengke Wua sebagai seorang kakak, sedangkan Lalo Koe seorang adik.

Awal Kisah.

Mereka berdua masih bujang atau belum mempunyai isteri.

Di Todo Pu'u, ada satu pohon nderu yang buahnya hanya dua. Tidak ada pohon nderu lain di situ. Si Wengke Wua memilih nderu atau jeruk yang lebih tua (borot dalam bahasa Manggarai), sedangkan adiknya memilih yang masih muda. Hal itu karena si Wengke Wua memaksa adiknya untuk memetik yang belum matang. Si adik pun mengamini saja, maka mereka pun memetiknya.

Keajaiban.

Siapa sangka, sebelum mereka memakan dua buah jeruk tersebut, kedua jeruk tersebut berubah menjadi dua orang perempuan. Jeruk yang belum matang berubah menjadi seorang gadis belia nan cantik rupawan, sementara jeruk yang sudah ranum menglangsat berubah menjadi perempuan yang agak tua.

Iri dan Cemburu.

Betapa terkejutnya si Wengke Wua karena Lalo Koe mendapat gadis belia sementara dirinya mendapat perempuan tua. Mereka pun bersitegang dengan mana si Wengke Wua bersikeras memaksa adiknya untuk menjadikan gadis belia itu sebagai isterinya. Keduanya pun saling cemburu merebut gadis belia itu.

Tipu Daya Wengke Wua.

Suatu hari, Wengke Wua mengajak Lalo Koe berburu babi hutan. Bukannya babi hutan yang mereka lihat malahan rutung (babi landak). Mereka membawa serta anjing mereka. Tiba di nua rutung (lubang masuk babi landak), anjing mereka mengikuti rutung tersebut ke dalam lubang. Lalo Koe turut ikut masuk ke dalam. Kesempatan emas itu pun dimanfaatkan oleh Wengke Wua untuk menutup lubang masuk itu dengan batu. Lalo Koe pun tertinggal di dalam.

Laporan Palsu.

Tiba di kediaman dengan isak tangis, Wengke Wua melaporkan kepada isterinya dan isteri adiknya bahwa adiknya Lalo Koe telah tiada diserang babi hutan. Isteri Lalo Koe sempat merasa kehilangan namun ia sama sekali tidak percaya begitu saja.

Perjanjian Cǝki.

Menurut Sobina Sidung - seorang Nenek dari Penulis yang menuturkan sejarah itu saat Penulis masih SD), di dalam gua yang gelap itu terdapat ruangan yang besar dan banyak babi landak di situ. Ruangan bagian dalam yang gelap itupun berubah menjadi terang. Betapa kagetnya si Lalo Koe, bukannya rutung yang dia lihat tetapi para manusia.

Dibuatlah perjanjian dengan Lalo Koe bahwa pihaknya siap menolong Lalong Koe asalkan saja mereka jangan memangsa keturunan mereka termasuk keturunan Lalo Koe di kemudian hari. Perjanjian itupun dilakukan.

Para manusia babi landak tersebut pun menggali lubang keluar dan sambil bernyanyi para siluman tersebut pun berhasil mengeluarkan Lalo Koe dengan selamat.

Upaya Perselingkuhan.

Niat bersenggama Wengke Wua kian menjadi-jadi. Dia sering menawarkan isteri Lalo Koe untuk bercinta erotik. Pelbagai cara dilakukan Wengke Wua untuk mendapatkan mahkota kecantikan isteri adiknya namun selalu mendapat jalan buntu.

Haju Uwu Penyelemat.

Tiap kali Wengke Wua hendak menawarkan persetubuhan, isteri Lalo Koe selalu menunjukkan benda merah di tangannya. "Ayolah sayang, kita bercinta", demikian Wengke Wua. Dengan cerdiknya perempuan itu menunjukkan warna merah di tangannya dan berkata: " Aku lagi datang bulan. Lihat saja darah di tanganku ini!".

Wengke Wua percaya begitu saja tanpa investigatif. Ternyata, isteri Lalo Koe ini mengambil kulit haju uwu - kaer loken,dan melumaskan ke tangannya agar pada saat Wengke Wua berhasrat tinggi, niatnya luntur karena melihat haid di tangan isteri adiknya. Upaya isteri Lalo Koe pun berhasil.

Permainan Caci.

Baduk kemudian menuturkan tidak lama berselang, persis ada caci di dekat Todo waktu itu. Lalo Koe yang belum kembali ke rumahnya mengikuti caci. Lalo Koe ini pandai bernyanyi. Isterinya pun mendengar nenggo dan landu dari suaminya. Ia memperhatikan betul tarikan suara dari suaminya itu.
Kemudian, ia menonton caci dan memperhatikan serius suaminya. Sontak ia mulai kegirangan kendati masih sanksi.

Dendam yang Terbalas.

Kejengkelan hati Lalo Koe terobati. Pada saat itu, Wengke Wua mengikuti caci. Mereka pun par cama tau - baku lawan adik kakak. Amarah Lalo Koe pun memuncak, ia memeceti Wengke Wua hingga rowa - tewas di arena caci. Lalo Koe pun tak dipersalahkan dan sejak saat itu ia kembali bersatu dengan isterinya di Todo sementara isteri Wengke Wua menghilang entah pergi ke mana.

Kemudian......

Keturunan Lalo Koe.

Lalo Koe memperanakkan Ndampa, Ndampa memperanakkan Sola, Sola memperanakkan Kondo, Kondo memperanakkan Baduk atau dikenal dengan Podok, Baduk memperanakkan Kapu, Kapu memperanakkan Nggoro, dan Nggoro memperanakkan David Jampur. Anaknya Baduk atau Podok tidak hanya Kapu tetapi juga Tontang, Nggai dan Pempo.

Masuknya Orang Asing.

Orang asing dari luar membawa atas nama Raja kemudian memasuki Todo. Ndampa pun berpindah dari Todo Pu'u ke Todo Koe atas perintah mereka.

Tapak Ndampa.

Ndampa bersama Sola diperintahkan oleh Todo untuk purak wajo kampong atau memerangi Limba dan Ndueng. Limba dan Ndueng pun lari porak poranda, sehingga atas keberhasilan tersebut Raja pun menyerahkan Lingko Rengga di Papang dengan batas timur Wae Mantar, batas selatan Cunga Ulu Ngali, batas barat Wae Kaman dan batas utara Wae Ros.

Orang Kepe Asli Lari ke Poco Leok.

Orang Kepe asli pun ketakutan bila Ndampa dan Sola akan menyerang. Agar tidak menerima resiko, mereka pun bertolak ke Poco Leok. Ndampa pun tinggal di bangka Kepe di Limbung dari Todo Koe.

Penjara.

Dulu ada namanya rapas - perang yang tersembunyi tanpa ada pemberitahuan ke pihak sebelah atau purak. Mereka purak ke Narang. Mereka menjarah semua padi yang sudah dingetam atas perintah Todo. Keturunan Ndampe dan Sola tersebut mengambil juga lepo dari orang Narang. Lepo tersebut terbuat dari anyaman pandan yang dibuat dalam bentuk karung. Ternyata, orang di Narang menaruh rapu atau mayat di dalam lepo tersebut. Kapu bersama tentaranya membawa serta mayat di dalam lepo tersebut.

Semua orang purak tersebut pun disel dan kemudian mereka ditarik untuk tinggal di Pongkor bahkan karena kecerdasan mereka, mereka malahan dijadikan sebagai jubir Pongkor.

Persebaran Keturunan Podok atau Baduk.

Beka agu buar semakin berbuah bagi keturunan Baduk, generasi Lalo Koe. Keturunan Baduk pun sudah tersebar di Timbun, Ruwat, Mbelaing, Lida, Beo Kina, Kotok dan Nderu.

Kusu Kisah Lampau.

Keturunan Baduk awalnya bersama Suku Mbaru Asi datang dari arah Selatan di Satar Mese untuk tinggal di Ngkor tetapi Suku Mbaru Asi tidak mau. Suku Mbaru Asi hanya menguasai Kusu dan Gǝndang Kusu awalnya milik Suku Mbaru Asi. Namun, kemudian mereka tidak mau lalu memilih untuk menetap di Cumbi, sehingga di Cumbi banyak Suku Mbaru Asi sekarang ini

Ekspedisi Hijrah.

Setelah lama di Pongkor, keturunan Ndampa, Sola sampai pada Tantu pada garis keturunan berikutnya bertugas menjaga Lingko Nua dekat Wae Rani, dari Lingko Nua mereka kemudian bertolak ke Lolang dari Lolang ke Mantek Poncung kemudian ke Lao dan Ngkor. Keturunan tersebut pun ada yang tinggal di Likeng, Kotok dan beberapa kampung lainnya sekarang ini.

©©©®®®®©©©
Potret Warga Gǝndang Golo Nderu.



Para Tetua Adat di Gǝndang Golo Nderu.

Kampung-kampung di Persekitaran Golo Nderu.

Adapun nama-nama kampung tersebut, di antaranya Dalo, Ngkor, Kusu, Cumbi, Lagur, Langkas, Wangkung, Rai, Pinggong. 

Arti dari Nama Kampung Persekitaran.

Dalo artinya panjang misalnya panjang bambu dari pangkal hingga ujung, sedangkan cǝ tede adalah bagian dari dalo; Ngkor adalah sejenis burung bubut (Latin, centropus sinensis), warnanya seperti mbe kondo.

Ngkor.

Pinggong.

Kusu adalah jenis pohon. Langkas artinya tinggi yang tampak dalam ungkapan: Langkas haeng ntala, uwa haeng wulang. Wangkung adalah jenis tetumbuhan sakral bagi orang wangkung. Dan, pinggong adalah sejenis pinang hutan.

Catatan: 

Lalo artinya yatim piatu, koe artinya kecil sedangkan wengke artinya melipat, menggulung, wua artiya rotan. Wengke wua artinya menggulung rotan.


Bacaan Tambahan:

Wangkung Medium Perutusan


Budaya pembagian lingko di Manggarai begitu unik. Seorang Tua Tǝno (Salah satu pemimpin adat yang bertugas sebagai pembagi tanah lazimnya menancapkan tǝno di tengah lingko yang dikenal dengan lodok (pusat kebun) sebelum moso (bagian lahan yang dibagi dari lingko yang berbentuk piramida/kerucut) dibagikan ke beberapa pemilik atau perorangan. Lingko tersebut berbentuk sarang laba-laba (spider web system) yang miripnya sama dengan rumah adat (Mbaru Tǝmbong/Mbaru Gǝndang).


Wangkung.

Penulis saat mengambil gambar, Jumat 14 April 2013 di Lumu - Langkas.
 
Dalam sebuah lingko yang berbentuk sarang laba-laba tersebut terbagi ke dalam beberapa moso.  Pusat lingko disebut lodok sedangkan batas luar disebut cicing, sehingga dikenal dengan sebutan lodok onen cicingn peang. Batas antara moso disebut langang. Batas antara petak-petak dalam moso disebut pematang atau tanggul kecil. 

Namun ternyata, dalam konsep tanda batas langang di Manggarai tidak semuanya
sama, ada suku yang unik. Pilar langang yang menggunakan wangkung termasuk unik. Hal ini berdasarkan hasil telusuran penulis.

Dalam budaya Manggarai yang lazim, di tengah lingko ditancapkan kayu tǝno dan setiap moso tepatnya di langang (batas antara moso) ditancapkan sebuah pohon nao. Hal ini menjadi kewajiban bahwa setiap pembagian lingko, langang moso wajib ditancapkan nao

Suku Wangkung Nunuk yang agak berbeda dengan budaya Manggarai pada umumnya.

Menurut Darius Dambut (60), 



(Darius Dambut).

warga Langkas, Desa Po’ong Murung, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, NTT di Langkas, Jumat (12/4/2013) kepada penulis mengatakan jika batas antara kebun adik-kakak kandung yang merupakan keturunan Wangkung, di langang harus ditancapkan bunga wangkung. Tetapi jika batas langang dengan orang lain di luar keturunan Wangkung harus dibatasi dengan nao, tidak bisa dengan wangkung.


(Nao - ada pula kampung Nao dekat Dahang, Manggarai Barat bukan Dahang di Manggarai Timur).

Dikatakan Darius, ada sejarahnya makanya tanda batas antara langang di Manggarai - Wangkung menggunakan wangkung. Sejarah itu berkaitan dengan keturunan Wangkung yang merupakan keturunan asli di Manggarai, bukan datang dari mana-mana. Sayangnya, Darius Damput belum punya waktu saat
itu untuk menjelaskan tentang sejarah asal-muasal nama wangkung dan asal-usul keturunan Wangkung yang merupakan keturunan asli di Wangkung
dan sekitarnya.

Bunga Wangkung Menobatkan Kades dan Dusun Terpilih.

Dijelaskannya pula bahwa penobatan seorang tokoh, seperti Kepala Desa, Kepala Dusun yang terpilih harus dilakukan di depan bunga wangkung karena merupakan ruku, sǝrong dise ǝmpo mbate dise ame (merupakan kebiasan, peninggalan nenek moyang). Meski yang terpilih itu adalah orang di luar Suku Wangkung Nunuk tetapi wajib dinobatkan di depan bunga tersebut, tidak harus putra asli keturunan Wangkung.

Penobatan oleh wangkung sebagai tanda bahwa orang yang sudah terpilih yang memimpin desa di wilayah Wangkung meski berasal dari luar dengan dinobatkan dengan wangkung tersebut orang bersangkutan menjadi bagian dari orang Wangkung yang merupakan suku asli. Hal itu masih dilakukan sejak nenek moyang pertama dan hingga hari ini masih dilangsungkan ritus demikian sekalipun pelan-pelan hilang.

Wangkung Menghilangkan Petir.
 
Menurut Gaspar Genggot (59), 



(Gaspar Garung).

warga Langkas, Desa Po’ong Murung, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai di Langkas, Jumat (12/4) saat menunjukkan bunga wangkung yang tumbuh di dekat kebunnya  kepada penulis mengatakan bahwa wangkung tidak hanya sebagai bunga untuk penobatan orang besar di desa yang terpilih tetapi juga banyak manfaatnya, di antaranya sebagai obat dan penangkis petir (ta'ang pasat).

Caranya menanam dekat rumah atau mengambil daunnya lalu ditaruh di dalam di bawah bubungan rumah. Jika di rumah adat ditaruh di ujung sepot neka lelo.

Cǝki cik Totem Wangkung Nunuk.

Untuk diketahui Suku Wangkung Nunuk ini memiliki totem (totem disebut tabu atau larangan suku memakan cǝki) yang harus dihargai oleh generasinya adalah cǝki cik (larang makan burung pipit). Hal itu merupakan pantangan nenek moyang melalui bentuk perjanjian tertentu dengan nenek moyang pada zaman lampau.

Cik atau burung pipit. Wangkung Nunuk ber-cǝki cik.

Uniknya, sejarahnya nyaris sama dengan Suku Ndewa di Golomori. Tabir gelap yang menutupi sejarah Wangkung sebagai orang asli di Manggarai belum digali semuanya.

Akibat Serangan Ndampa dan Sola terhadap Limba.

Dalam Tapak Ndampa.

Di atas telah tertulis, Ndampa bersama Sola diperintahkan oleh Todo untuk purak wajo kampong ataumemerangi Limba dan Ndueng. Limba dan Ndueng pun lari porak poranda, sehingga atas keberhasilan tersebut Raja pun menyerahkan Lingko Rengga di Papang dengan batas timur Wae Mantar, batas selatan Cunga Ulu Ngali, batas barat Wae Kaman dan batas utara Wae Ros.

Relasi dengan Empo Rua di Sampar. 

Empo Rua di Sampar, sekarang Desa Pong Lale, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), sejarahnya mulai nyambung dengan serangan Ndampa di Limba masa dulu. 

Dari penelusuran lebih lanjut, Penulis menemukan, Rua bukan berasal dari keturunan Empo Repong dan Paleng tetapi Rua berasal dari keturunan Nua di Wela. Artinya, Rua keturunan Nua. Itu berarti sejarah sebelumnya keliru karena Ayahnya Empo Rua berasal dari Nua.

Keturunan Empo Rua berasal dari Nua di Wela dikatakan oleh Herman Kiot di Sampar, 1 Januari 2017.

Selanjutnya........

Sekilas tentang Keturunan Suku Nua di Wela.

Diedit oleh Melky Pantur dari tulisan asli Jumat (20/1/2017) dari sisi penulisan tetapi tidak merubah alur ceritanya. Bisa dibandingkan dengan tulisan di bawah ini:

Lih. http://atawelasoo.blogspot.co.id/2015/08/awal-mula-suku-nua-di-wela-cancar.html. Bandingkan dengan cerita ini: https://plus.google.com/117748896674938088790/posts/4ddXkZwAbMM

Awal Mula Suku Nua di Wela.

Letak.

Wela di sini adalah sebuah kampung yang terletak di Desa Goloworok, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, NTT.

Awal Cerita.

Pak Frans Menceritakan.

Dikatakannya, Juli  2013 keluarga besarnya dari Suku Nua, yaitu Pedi, Mau, dan Tarung  mengadakan acara syukuran di Wela.

Hewan kurban yang digunakan waktu itu, ceritanya, menggunakan kaba bakok/pera atau kerbau putih. Hewan korban lainnya adalah ayam jantan dan ayam hitam.

Sebelum dimulainya ritus, mereka kemudian menggali asal usul leluhurnya.

Awal Petualangan Leluhur.

Adalah Sungga nama Kakek itu. Beliau datang dari Limba (Nua) di Pongkor, Satar Mese. Limba terletak di Pongkor.

Mulanya, Pongkor dan Todo merupakan  dua kampung yang warganya asal mulanya kakak beradik. Sang kakak tinggal di Todo, sementara adiknya tinggal di Pongkor.

Disharmoni Antara Todo dan Pongkor.

Lambat laun, relasi kekeluargaan dan persaudaraan pun retak. Hal itupun terjadi antara Todo dan Pongkor. Disharmoni pun terjadi dengan mana terjadi peperangan Todo - Pongkor. Perselisihan tersebut berawal dari  salah paham ketika ada kematian di Todo. Pasalnya, keluarga di Pongkor tak menunjukkan rasa  keprihatinan sebagai satu keluarga sebagaimana aturan adat lazimnya. Keluarga adik di  Pongkor tetap beraktivitas sebagaimana  biasa, termasuk mengiris enau (pante tuak) sementara bunyi meriam bambu  tanda duka di Todo menggema begitu kuat, namun keluarga di Pongkor  tetap "dontor  lopo" (pukul atap enau untuk dapatkan air tuak).

Nah, aksi Pongkor ini memicu reaksi dari Todo. Todo melihat ini sebagai suatu pembangkangan terhadap otoritas  hak kesulungannya. Atas sikap bandel Pongkor ini, Todo mengambil sikap keras. Maka, terjadilah perang (purak mukang  wajo kampong).

Limba Turut Diserang.

Perang saudara pun tak terhindarkan. Bukan hanya Pongkor yang diserang tetapi juga Limba, kampung halamannya Sungga. Orang Limba lari terbirit-birit, pontang-panting menyelamatkan diri. Karena warga Limba lari, Kampung Limba dibakar. Orang-orangnya dikejar untuk dibunuh oleh pasukan perang Todo. Sungga sesepuh kampung tak luput dari pengejaran.

Kakek Limba Menyelamatkan Diri.

Sungga Bersembunyi di dalam Lubang Galiannya.

Karena merasa terjepit, Sungga  berusaha menyelamatkan diri. Dia menggali lubang lalu memasukkan diri untuk bersembunyi di dalam gua yang digalinya. Ketika pasukan dari Todo melihat tempat itu, yang ada hanya  tebing kokoh. Mereka  enggan untuk melakukan pencarian lebih lanjut untuk membunuh Sungga yang  sudah melarikan diri ke dalam lubang - nua dalam bahasa Manggarai.

Selamat dari Kejaran.
Awal Mula Predikat Nama.

Pasukan Todo kembali ke kampung halamannya. Sungga selamat  berkat menyembunyikan di dalam lubang gua. Sungga keluar dari  lubang persembunyiannya. Begitu dia merasa kondisinya sudah aman, maka  dia kelaur dari persembunyiannya. Dia tak mendiami kampung Limba lagi. Karena  diselamatkan oleh lubang atau nua, maka  Sungga memberi tambahan nama dirinya menjadi Sungga Nua.

[Belum diketahui siapa isteri dari Kakek Sungga Nua dan asalnya dari mana].

Bergegas ke Tenda Ruteng.

Kampung Limba sudah jatuh ke tangan Todo termasuk lingko-nya. Sungga Nua tidak berbalik tetapi  kemudian menuju ke Tenda Ruteng.

[Tenda masa lampau, lih. https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/03/manggarai-tempoe-doeloe.html].

Indahnya, jauh sebelum perang dengan Todo meletus, saudari dari Sungga sudah menikah dengan orang Tenda - Ruteng. Konon suaminya tinggal di rumah adat Gendang Tenda. Karena  ras  iba,  ipar (kesa)  dan saudarinya  mengajak Sungga Nua  untuk tinggal di Tenda - Ruteng. Sungga pun menetap di Tenda - Ruteng.

Keributan Kecil di Tenda.

Lama berselang, Sungga mulai menguasai  rumah bahkan tanah ulayat Tenda.

Ceritanya, Sungga suka minum, terutama  moke (tuak). Karena posisi sebagai anak rona, Sungga meminta agar dilayani terus, termasuk dalam urusan minuman kesukaannya ini.

Persis suatu ketika, Kakek Sungga ini merasa pelayanan iparnya itu tidak maksimal, maka dia pun marah lalu ke pohon enau (raping). Dia memotong atap (ndara) enau yang sedang dirawat oleh  iparnya. Iparnya marah besar. Namun, menyadari posisi mereka selaku  pihak keluarga yang perlu menghormati keluarga asal perempuan (anak rona),  ipar dan isterinya  mengalah. Mereka meninggalkan Tenda menuju ke  daerah Cibal. Mereka tinggal di sana untuk waktu yang cukup lama.

Leluhur Marah.

Tindakan sabotase Sungga Nua berakibat fatal dengan mana dia terkena sakit yang sulit untuk disembuhkan. Dia berobat ke mana-mana namun tak kunjung disembuhkan.

Titah Seorang Dukun.

Suatu hari, dia mendatangi dukun untuk mengetahui penyebab sakitnya. Dukun itu memberitahu kalau penyebab dirinya sakit karena telah menyabotase hak anak wina di Tenda. Sang Dukun memberi syarat kalau dirinya mau sembuh harus memanggil kembali saudari dan iparnya itu dari Cibal. Hal itu diamini Sungga dan dia pun sembuh setelah dibuatnya proses rekonsiliasi secara adat berupa hambor.

Kesanya Menghibahkan Wae Buka.

Berkat relasi perkawinan, Sungga Nua pun diberikan lingko oleh iparnya tepatnya di Wae Buka. Di Wae Buka menghasilkan beberapa keturunan. Bagi Pak Frans, Sungga tutup usia di Wae Buka Ruteng. Alasan tempat untuk bercocok tanam kian sempat, maka keturunan Sungga lalu hijrah ke Wela dan Kolang.

Ekspedisi ke Wela dan Kolang.

Dua titisan Sungga Nua bergegas ke Wela dan Kolang. Mereka adalah Ngkaru - Ngkarak dan Kala Batang - Pedi Jeri.

Ngkaru - Ngkarak menikah dengan  perempuan yang berasal dari Suka (Kolang). Pedi Jeri menikah dengan Woni - Wuni - dialek Kolang, perempuan dari Teno (Kolang). Kalang Batang menikah dengan orang Wela. 

Ngkaru - Ngkarak itulah yang menjadi leluhur Suku Nua yang mendiami Suka,  Satar Ara, Leda  dan Lambur. Salah satu tokoh Suku Nua di Satarara, yakni Martinus Mero.   Sedangkan, Kalang Batang menjadi leluhur Suku Nua yang tinggal di Wela - sekarang yang melahirkan Nemo, Andreas Mantol, Hatal, Ambok.

Catatan:

[Ada  versi  lain yang mengatakan bahwa untuk Nua 1 di Wela dan Nua Satara Ara, leluhur  yang  datang  dari  Wae Buka itu bernama Anco  Anca, Pedi - Pidi dialek Kolang].

Titisan Empo Sungga Nua di Wela dan Kolang.
Di Kolangnya Rejing dan Kotok.

Titisan di Wela.

Keturunan Sungga Nua di Wela terbagi dalam dua kelompok. Paguyuban kelompok ini berdasarkan ikatan darah. Hal itu sering disebut: sa paki ela - satu babi kurban persembahan. Di sini mereka sehati sejiwa dalam mengurusi persoalan paguyuban, baik dalam masalah  kelahiran, kematian, sekolah maupun perkawinan.

Enau Sumber Perselihan dan Perpisahan.

Sekitar tahun 1960- an, terjadi perbedaan pendapat memperebutkan  pohon enau di Lingko Bangka. Mereka yang   yang bersengketa  adalah  Baduk dengan  Hatal (Emad Belo).

Dalam perjalanan waktu, Baduk ini sendirian sementara Hatal dibela oleh saudara-saudaranya, seperti Nemo, Mantol, dan Ambok. Mereka pun berpekara hingga ke meja Dalu - waktu itu Wela masuk dalam wilayah Kedaluan Lelak dan Dalu waktu itu dijabat oleh Menanggur.

Singkat cerita, Dalu Menanggur memutuskan, Baduk keluar sebagai pemenang dengan mana enau itupun menjadi milik Baduk.

Sejak saat itulah, Baduk dan Nemo cs memulai menangani urusan peguyuban secara tersendiri dalam keluarga.

Baduk akrab dengan saudara-saudaranya di Rejing dan Kotok, sedangkan Nemo cs bersama Hatal dan Bernadus Bakal. Masing-masing persekutuan tersebut berlangsung hingga, 31 Agustus 2015 - sesuai catatan penulis asli.

Keturunan Empo Ber-cǝki Lusa atau Gude.

Goresan Tapak Tilas Kampung Rangges, Ziarah Petualangan Wura.

Kampung Rangges sekarang ini berangkat dari perjalanan ziarah dari nenek moyang masa awal. Ada dua suku awal yang mendatangi bukit tersebut pada mulanya, yaitu Suku Rangges dan Suku Weol. Kendati mereka ber-cǝki atau bertotem sama, yaitu lusa (gude, kerap disebut kacang bali) namun mereka berbeda asal nenek moyang hanya saja dulu pernah menetap bersama di Weol.

Menurut Tua Golo Rangges, Andreas Nabit dan Aloysius Jeradu, kedua nenek moyang Rangges dan Weol datang bersama-sama dari Weol. Keturunan Rangges yang datang pertama bernama Cembeluak atau kerap dipanggil Dalu Woni, keturunannya bernama Ngguntang, lalu anak Ngguntang ada empat orang, yaitu Cunca, Dundang, Cungga dan Mbolek.

Sementara, keturunan Weolnya, nenek moyang mereka bernama Ara kemudian memperanakkan Rambung, dan Rambung menghasilkan Cakang dan Baba. Dan, menurut Nabit, suku-suku di Rangges, di antaranya: Weol, Rangges, Pasa, Mǝti, Niang Mongko, Cumbi, Weol Rai, dan Ndehǝs. 

Soal Cǝki atau Totem.

Rangges dan Weol ber-cǝki lusa (gude); Pasa dan Pasa Ndehǝs ber-cǝki acu (anjing); Cumbi dan Mǝti ber-cǝki kula (musang).

Awal Mula Cǝki Lusa.

Zaman dulu di Weol, suku Rangges, Weol dan Leko mulanya tinggal bersama. Mereka kerap melakukan kerja dodo - kerja gotong royong. 

Orang Rangges, Weol, Leko termasuk beberapa keturunan di Sampar dari garis keturunan Empo Rua bertotem lusa ini].

Pada saat mereka berladang, yang pada waktu itu dodo-nya orang Weol. Ketika hendak mau makan siang, sayuran yang digunakan adalah lusa atau gude, namun saat hendak makan siang lusa itu tidak kunjung masak-masak. Maka, terjadilah pertengkaran antara suami-isteri karena diduga peristiwa tersebut. Suami kemudian menyalahkan sang isteri karena gude itu tak masak masak. Lusa yang tidak bisa dimasak tersebut pun kemudian menjadi cǝki.

Mengungkap Kebenaran.

Versi pertama, saat dimasak lusa tersebut hingga berjam-jam bahkan berhari sekalipun kulit sekamnya sudah dikeluarkan biji-bijinya tidak masak. Versi kedua, lusanya dimasak dengan sekam, sehingga tidak bisa masak-masak. Entah mana yang benar menurut versi sejarah, namun yang pasti kemudian orang Weol, Rangges, dan Leko bernazar untuk tidak makan lusa lagi, baik mereka maupun keturunan mereka. 

Kendati dulu mereka tinggal bersama, namun nenek moyang Empo Cembeluak dan Ara tetap berbeda. Hanya kemudiam bersama-sama ber-cǝki lusa karena berada dalam peristiwa dodo tadi dengan alasannya gude yang tak masak-masak.

Lih. https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/08/rangges.html

Suku Kepe di Coal.

Apakah Suku Kepe dari Keturunan Ndampa ataukah yang lari ke Poco Leok setelah orang Kepe asli diserang? Tunggu jawaban berikut.

Baca juga ini: 

https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/04/the-tribes-in-coal.html; 


https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/08/lenggo.html; https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/08/coal-village.html.

Sejarah Juawone. 

Lihhttps://plus.google.com/117748896674938088790/posts/iR5TRVsuW2P.

Sejarah Ajang dan Suku-sukunya.

Lihhttps://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/08/ajang.html.

Sejarah Empo Jou dan Ngkileng di Ndoso.

Lihhttps://plus.google.com/117748896674938088790/posts/MfisiUqmD7D.


***********
Semua data di atas akan dilengkapi lagi oleh Penulis.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar