27/01/18

Teing Hang Wura agu Ceki Ala Rongga.

Ditulis oleh: Melky Pantur***,
Sabtu - Minggu (26-27/1/2018).

[Foto ini diambil oleh Melky Pantur di samping kediaman dari Keraeng Vincensius Roja di Kisol, Jumat malam (25/1/2018). Tampak sebuah cahaya seperti pedang. Tepatnya saat acara dari Keraeng Vincensius Roja].

[Keunikan lainnya, foto yang diambil oleh Hiro Dale di tempat yang sama].

Ritual teing hang Wura agu Ceki (memberi makan roh leluhur dan representasi Ilahi) di Manggarai, Nuca Lale, Flores, NTT, isinya sama namun beberapa cara agak berbeda.

Ini kesamaan dan perbedaan ritus teing hang Wura agu Ceki orang Rahong dan Rongga.

Pertama, benda dan hewan kurban.

[Terlihat beras, sopi dan ayam kurban digunakan sebagai sarana teing hang Wura agu Ceki di Kisol - Rongga, Kecamatan Kota Komba, Kab. Manggarai Timur, Jumat malam (25/1/2018)].

Ruku Rongga.

Benda yang digunakan berupa telur ayam kampung; ayam jantan putih dan manuk cepang wulu telu (ayam jantan buluhnya tiga warna); beras dan sopi yang ditaruh di dalam gelas. Beras ditaruh di atas piring.

Ruku Rahong.

Hewan kurban yang digunakan sama, hanya saja tidak ditabuhkan genderang dan gong. Tidak menyiapkan beras, kecuali rokok, sirih pinang dan sopi. Lalu, beras digunakan pada saat ritus pangga di mana ada orang tua kandung meninggal lalu dibuatlah ritual pangga. Beras digunakan saat itu.

Kedua, prosesi.

[Ayam kurban wajib dielus oleh orang-orang yang hadir yang dibawakan oleh seseorang sebagaimana tampak dalam gambar]


Ruku Rongga.

Setelah benda-benda disiapkan, dimulailah torok. Ada yang berbeda, sebelum ayam persembahan di-torok (doa), dua ekor ayam tersebut wajib dipegang terlebih dahulu oleh semua orang yang ada di dalam rumah tersebut. Hal itu dilakukan sebagai dimulai dan sahnya ritual tersebut. Setelah itu baru ayam tersebut didoakan. Namun, saat mau didoakan, muka dari ayam tersebut diarahkan ke orang yang torok tadi sedangkan ekornya diarahkan keluar.

[Perhatikan gambar]

Sebelum torok dimulai pun, salah satu ekor ayam tersebut dicabut lalu diambillah beras dan dipercikkan ke muka ayam tersebut. Sesi pertama selesai lalu ambillah pula beras yang sudah ditaruh dipiring lalu buluh leher ayam tersebut dicabut. Setelah didoakan, ayam tersebut disembelih oleh tukang sembelih dan hanya satu orang, tidak boleh dibantu oleh orang lain. 


[Kepala ayam kurban dipisahkan dari lehernya]

Kepala ayam tersebut ditempatkan di atas lecang (sejenis benda berbentuk piring yang terbuat dari kayu) lalu disembelih dan kepalanya dipenggal dan dipisahkan dari lehernya. Leher ayam kurban tersebut dibiarkan di atas lecang tersebut. Hal yang sama berlaku untuk ayam kurban kedua. Sedangkan, sopi yang sudah dipersiapkan di dalam gelas harus diminum oleh juru sembelih tersebut.


[Lih. gambar]

Ruku Rahong.

Sebelum didoakan, ayam kurban tidak wajib dipegang oleh umum, hanya diwakili saya oleh ata torok (juru doa). Berbeda dengan ruku Rongga, ruku Rahong, muka ayam kurban diposisikan ke depan sedangkan ekornya ke belakang ata torok. Tidak dicabut terlebih dahulu buluh ekornya namun cukup dicabut saja buluh di kepalanya saat torok berlangsung. Jika teing hang Wura agu Ceki tidak menggunakan beras. Kecuali saat ritual pangga dan takung wae cemok, beras baru digunakan termasuk pada saat ritual perpisahan dengan orang yang mati. Ayam kurban pun disembelih oleh satu atau dua orang. Lehernya pun tidak boleh dibuat putus. Jika dibuat putus, itu manga anggan (semacam ada tanda yang tidak baik). Sopi dan rokok pun jarang dimakan juga hang helang jarang ada yang makan (meski sopi, rokok dan hang helang tersebut pun boleh dimakan oleh siapa saja).

Ketiga, gong dan gendrang ditabuh.

[Lih. gong dan genderang ditabuh]

Ruku Rongga.

Uniknya, saat hewan kurban disembelih, gendrang dan gong ditabuh. Tampak group musik memainkan irama musik menggiringi penyembelihan hewan kurban tersebut. Hal yang sama dilakukan pula pada saat penyembelihan hewan kurban kedua. Kecuali di bendar (rumah warga) pribadi karena tidak ada gendrang dan gong.

Ruku Rahong.

Gendrang dan gong tidak dibunyikan bahkan saat acara congko lokap, paki jarang bolong, kaba leti atau kaba beka agu buar sekalipun meski itu dilakukan di dalam rumah adat.

Keempat, toto urat dan helang.

Ruku Rongga.

Setelah hewan kurban tersebut disembelih digelarlah toto urat. Toto urat dilakukan agar mengetahui cala langkas maja bombong pesu (suksesnya acara diterima leluhur dan Tuhan). Kemudian dilanjutkan dengan helang. Setelah hang dan nuru helang didoakan, seorang juru sembelih tadi dipersilahkan melahat habis hang helang yang diperuntukkan bagi Wura agu Ceki.

Ruku Rahong.

Toto urat dan hang helang hampir sama, hanya saja nuru helang jarang dimakan tetapi dibiarkan tergeletak begitu saja. Hang helang tersebut ditaruh di langkar, di depan rumah, di siri bongkok dan di tungku api (sapo).

Kelima, bahasa torok.

Ruku Rongga.

Orang Rongga menggunakan bahasa Rongga campur dengan bahasa Rahong. Torok tanpa teks.

Ruku Rahong.

Murni bahasa Rahong. Torok tanpa teks.

Keenam, tempat.

Ruku Rongga.

Tempat yang digunakan bahkan bukan lutur (ruangan depan/tamu). Gendrang dan gong dimainkan di lutur.

Ruku Rahong.

Tempat yang digunakan adalah lutur baik di rumah Gendang di Niang, Tambor maupun Bendar.

Keenam, wali urat di'a dan tegi nabit de anak rona.

Ruku Rongga.

Diawali dengan wali urat di'a de Anak Wina dan ase ka'e lalu wali agu tegi nabit de Anak Rona.

Ruku Rahong.

Hampir sama.

Ketujuh, meterai.

Jika wuat wa'i (orang yang hendak bertarung atau merantau atau pergi kuliah) maka sama persis dilakukan dengan memeteraikan darah ayam kurban tersebut di kuku kaki jempol orang yang hendak wuat wa'i tersebut.

Catatan:

Ruku sama dengan kelumrahan, kelaziman, kebiasaan, kerap dipraktekkan.

[Luju]

[Perhatikan gambar]


Bacaan tambahan:

https://melky-pantur.blogspot.co.id/2017/09/takung-wae-cemok.html

https://melky-pantur.blogspot.co.id/2018/01/ritus-adat-pangga-orangmmanggarai-flores.html



Tidak ada komentar:

Posting Komentar